Monday, April 4, 2011

Ketika Metromini Berwarna Merah Muda

Asap kelabu membumbung begitu saja menyentuh langit-langit kamar dari sebatang rokok yang tak dihisap di atas meja. Ya, di atas meja karena tidak ada asbak di kamar ini. Entah karena saya malas membelinya ataukah karena saya rasa kamar ini sudah begitu sesak buat saya, hari ini. Dan betapa batang pun rokok yang saya hisap, yang biasanya sedikit menenangkan saya, tidak akan menghibur saya.

Beberapa hari ini saya kalah oleh perasaan saya. Penasaran akan seorang gadis, yang bahkan belum saya kenal sebelumnya. Kemarin lusa, dalam pengapnya metromini, bisingnya suara mesin, bau knalpot sore Jakarta, dalam lelah saya tidak sengaja menatap mata Si Gadis. Mata gadis itu begitu jujur dan seketika itu warna hitam putih yang biasa saya lihat dalam senja sore Jakarta yang menyiksa berubah menjadi berwarna cerah. Bermula dari warna merah bajunya, merembet ke sampingnya, dan lagi, dan lagi. Aduh, saya bisa kembali melihat hijau daun pohon pinggir jalan, langit biru kemerahan khas senja, merah muda-eh-jingga metromini yang saya naiki, baju batik yang tadinya saya kira piyama, bunga tepi jalan, kupu-kupu itu, hebat.. Saya bahkan bisa melihat muka-muka masam tiba-tiba tersenyum, sirine-sirine pekak berubah jadi simfoni, umpatan pengendara motor menjadi lirik yang indah, wah, luar biasa.

Hm, saya rasa efek dari senyum dan tatapan gadis itu terlalu berlebihan buat saya. Bahkan hingga hari ini. Bagaikan candu yang saya tenggak dalam dosis tinggi pada kali pertama, psychedelic, menimbulkan halusinasi warna yang berputar tak terkendali. Ketika stimulus itu hilang saya inginkan lagi, lagi, dan lagi.

Ah! Masa bodoh, saya harus melupakannya. Di sini, dalam goresan pena ini biarlah kenangannya tergurat, tidak dalam kepala saya. Mana rokok yang teronggok tadi, hisap lamat-lamat dan biarlah racun ini membilas kenangan tentang Si Gadis. Saya rasa akhirnya duo tar dan nikotin dapat sedikit menghibur saya sampai saya pejamkan mata, dalam gelap, hey, Si Gadis itu kembali muncul dengan kupu warna-warni terbang mengitarinya. Aih..

bukan..gadis ini bukan si gadis yang saya ceritakan =)


Pagi, Kemeja..


Stop kontak, setrika, dan kemeja katun. Pagi biasa dengan kebiasaan yang biasa-biasa saja: menyetrika kemeja sebelum berangkat  beraktivitas. Dan saya -dengan gerah terpapar panas setrika, terpaksa- menikmatinya. Mungkin berbeda dengan scene beberapa orang,  yang, bangun pagi, membuka jendelanya, menghirup udara segar sambil merem melek tersenyum, lalu menyeruput kopi. Sementara saya dengan bekas bantal di pipi dengan terhuyung mencuci muka, melakukan ini-itu, kemudian melicinkan pakaian dengan muka yang lebih kusut dari kemeja. 
 
Betapa lamanya saya dan mungkin kita semua bergaul dengan kemeja. Berapa banyak cerita yang kita lalui dengannya. Saat TK sebelum  berangkat ketika tak sengaja mengotorinya dengan kuning telur mata sapi yang membuat Ibu senewen. Atau ketika teman SD menciprati  Si Kemeja dengan cat air. Dan ketika darah segar dan debu jalanan menyaputnya, menjadi saksi perkelahian antar remaja tanggung  meributkan masalah sepele,yah..mungkin cewek. Ingat juga pesta penuh euforia kelulusan yang menjadikan kemeja putih polos menjadi  penuh warna-warni pylox, hm, warna-warni masa remaja.
Di balik semua kenangan itu kemeja memiliki tempatnya sendiri, baik fungsi, etis, maupun estetika. Yah, pasti akan terasa aneh sekali melihat orang snorkelingan memakai kemeja. Secara sadar kita memakai kemeja untuk kegiatan tertentu, untuk sesuatu yang membutuhkan kerah dan kancing mungkin. Dan ya, beberapa dari kita memang suka menghitung kancing saat ujian soal pilihan ganda  karena tidak suka belajar bab matematika probabilitas tapi lebih suka mempraktekannya langsung di lapangan. Sebagai alter ego kepribadian, kemeja menerjemahkannya dalam bentuk yang paling riil : bayangkan pemuda slengean akan tampak sopan pada saat berhadapan dengan calon mertuanya hanya karena cuci muka sedikit ditambah finishing kemeja pinjam teman yang membalut tubuhnya. Hm, contohnya mungkin agak imajiner dan absurd.
Sekarang, di sinilah saya. Radio ibukota masih menemani saya dengan penyiarnya sesekali mempromosikan produk kecantikan remaja yang mungkin dibutuhkan kulit saya yang penginnya masih dianggap remaja. Saya masih menyetrika sambil senyum-senyum sendiri memandangi kemeja katun garis-garis yang sudah licin ini. Pikiran kemana-mana tentang kemeja ini mungkin dipicu insomnia, buktinya kepala saya masih pusing. Eh, atau karena sebotol anggur tadi malam? Tuh kan, saya memang suka melantur. Saya kan gak minum anggur, tapi makan botolnya, lho..